Sunday, August 10, 2014

Surat Kepada Ayah



                Selamat malam,
                Apa kabar dirimu?
                Maaf baru kali ini aku menanyakan apa kabarmu. Aku tahu waktu-waktu yang sebelumnya aku tidak pernah menanyakan hal ini.
                Malam ini aku merindukanmu. Walaupun kita tidak pernah memiliki kedekatan.
Aku tak pernah melihatmu duduk di kursi ruang tamu untuk menungguku pulang.
Aku tak pernah menemuimu ketika makan malam bersama.
Aku tak pernah mendapatkan amanat-amanat darimu.
Layaknya seorang anak yang merindukan sosok ayahnya. Aku disini, sangat jauh darimu. Terpaut oleh beribu-ribu jarak yang tak terhingga.
Sosokmu sudah tak kudapati lagi sejak waktu itu hingga selamanya.
Ayah….
Putrimu ini rindu.
Aku hanya mampu menyampaikannya lewat laman ini. Lewat tulisan tulisan sederhana ini.
Maaf dulu aku pernah membencimu. Pernah memakimu dalam diam. Tidak ingin menemuimu keika kau masih bisa aku jangkau. Maaf ketika aku bersikap acuh kepadamu.
Aku tidak butuh barang-barang yang kau berikan sebagai tanda sayangmu padaku. Aku menginginkanmu menemaniku, memberiku nasehat.
Aku benci ketika kau tidak ada waktu untukku. Aku lelah ketika harus bertanya pada Ibu dimana dirimu. Yang hanya ia jawab “Ayahmu sedang bekerja”
Ayah bekerja dimana hingga aku tak pernah menemukanmu. Aku benci moment-moment seperti itu.
Tapi hati ini tidak bisa ingkar. Rasa rindu dan sayangku lebih besar dripada dengki hati ini.
Aku hanya bisa berdoa.
Berdoa.
Berdoa.
Begitu seterusnya.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan kini, dan seterusnya selain berdoa.


Dear God, Help me to understand that difficult times can make me stronger in the end, even though it may not always be easy to see.

Jatuh Cinta



Jatuh……Cinta
Sebuah tag line dari iklan di televisi yang beberapa waktu lalu aku lihat.
Dengar-dengar, rasanya menarik. Bermacam-macam, penuh pengalaman, penuh canda tawa, bahagia, senang, sedih, sakit, kemudian apa lagi?
Jatuh cinta tidak terus menerus dengan seseorang. Ia bisa berupa benda mati maupun hidup. Sepertinya menarik bukan?
Aku jatuh cinta pada diriku setiap kalinya. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku jatuh cinta dengan kehidupan di sekelilingku. Baik kecil atau besar, Penting atau tidak, Besar atau kecil, Hidup maupun mati.
Jatuh…….Cinta
Rasanya menyenangkan. Aku dapat banyak pengalaman. Urusan hati jujur bukanlah prioritas utama bagiku. Banyak yang bilang, “Follow your heart” but I can’t deal with that.
Hati mengutamakan perasaan. Otak mengutamakan logika. Tak apa jika kita berpikir menggunakan hati, tapi pikir juga dengan otak. Perasaan dan logika harus memiliki keseimbangan.
Mencintai sesuatu apa adanya kadang menurutku benar juga. Kadang.
Tapi apa mungkin, jika kita mencintai sesuatu apa adanya, dapat membuat segalanya berjalan mulus tanpa halangan apapun? Tidak.
Jangan cintai apa adanya. Carilah prioritas yang penting kemudian berusaha mendapatkannya agar bisa sejalan dan mendapatkan apa yang dinginkan oleh keduanya.
Jatuh……Cinta
Jatuh cinta tidaklah semudah itu.
Ketika kita memilih untuk jatuh, jangan jatuh terlalu cepat. Jatuhlah secara perlahan. Agar kita tahu bagaimana caranya bangkit lagi.
Jatuh……Cinta
Aku jatuh.

Kawan Lama



Bicara tentang kawan lama,
Apa kabar mereka sekarang?
Dimana mereka sekarang?
Ah, mereka sudah sibuk dengan dunianya masing-masing. Aku merindukan mereka.
Teman-temanku di sekolah dasar, sekolah menengah pertama. Masih teringat nama-nama mereka, wajah-wajahnya ketika kita berbagi tawa dan canda. Rindu kebersamaan itu. Tapi, ah….
Aku benci ketika harus lost contact. Aku kesal ketika tidak saling melihat satu sama lain ketika kami berpapasan.
Jika memang kita saling merindukan, pasti sesibuk apapun, kita bisa bertemu. Bertukar cerita tentang periode masa yang telah dilewati.
Aku tahu mereka dimana sekarang, tapi kini mereka sedang menuruti jadwal kesibukan mereka. Tenggelam dalam dunianya sendiri.
Aku hanya bisa berdoa untuk kalian. Segala sesuatu yang baik, tentunya.
Aku ingin kita bisa berkumpul dikemudian hari, saling menceritakan pengalaman menarik, hingga kita bisa hidup sesuai cita-cita kita.
Aku tahu walaupun kini tak sempat kita melihat satu sama lain.
Kebersamaan yang kita punya dulu akan kita dapat keesokan hari.

Higher Than Skyscraper


                Aku jadi ingat.
                Banyak yang bilang, “Kamu udah tinggi, San. Nggak usah pake high-heels atau wedges. Tambah tinggi bangat nanti.”
                Jadi cewek remaja yang masih berusia 16 tahun yang punya tinggi lebih dari 170 cm kurang dari 175 cm memang nggak gampang.
                Aku selalu merasa pengen jadi cewek pada normalnya. Yang memiliki tinggi tidak setinggi aku. Lebih rendah dari aku mungkin.
                Kadang aku lelah, menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarku.
                Mereka melontarkan pertanyaan yang sama.
                “Kamu kok bisa tinggi e?”
                “Kamu ikut olahraga apa kok bisa tinggi?”
                “Pasti ibumu tinggi juga, ya?”
                Seolah mereka heran melihatku. Macam aku ini makhluk apa saja.
                Aku memang tinggi. 170-175 cm. Aku tidak mengikuti olahraga apapun. Ibuku tidak setinggi aku. Mendiang ayahku lah yang mewarisi keturuan postur tubuh tinggi kepadaku ini.
                Jadi cewek postur tubuh tinggi itu nggak gampang. Cari celana panjang sulit. Pun ukuran alas kaki, apalagi cari pasangan yang lebih tinggi dari aku.
                Aku juga mau pakai high-heel atau wedges sekali-kali. Sebelumnya, aku nggak pernah pakai begituan. Punya pun enggak.
                Dari SD sampai SMA sekarang, rata-rata aku yang paling tinggi di kelas. Aku jadi ngerasa beda. Tapi kata orang-orang di luar, jadi beda itu unik. And I’m fine with that.
                Kadang aku ngerasa malu sama postur tubuhku ini tanpa sebab yang jelas. Tapi disamping itu, sekarang aku ngerasa bangga punya postur tubuh yang seperti ini. Ketika teman-temanku selalu berharap tambah tinggi atau semacamnya itu. Tapi aku mendapatkannya secara cuma-Cuma.
                Aku suka Aku.
                Aku cinta Aku.
                I love Me.


I'm higher than skyscraper.

Saturday, July 26, 2014

Kamu Keluar Dong

"San, aku udah di luar. Kamu keluar dong,"

Sempat aku mendengar suara kendaraan roda dua berhenti di depan rumahku. Aku menghiraukannya. 

Tak lama kemudian ponselku berdering kala itu. Sebuah pesan singkat  masuk ke ponselku. Kawanku, yang berjanji mampir ke rumah mengembalikan barangku yang ia pinjam. 

"San, aku udah di luar. Kamu keluar dong,"

Ternyata suara kendaraan di depan rumah yang aku hiraukan adalah kawanku. Kenapa ia tidak memanggil saya dari luar. Sekedar mengucap permisi.

Apa ini salah satu majunya tekhnologi saat ini? Dalam jarak dekatpun lantas menggunakan sebuah perantara benda mati. Jarak yang hanya terbatas sebuah tembok. 

Apa hanya perasaanku yang berkata bahwa remaja kini melakukan hal tersebut. Mengabari lewat pesan singkat jika sudah sampai di depan rumah. Apa slahnya mengucap permisi?

Bukannya apa, tapi aku tidak suka melakukan hal itu. Semoga tidak hanya aku yang masih memanggil dari luar rumah kawanku. Yang tidak memberi tahu kawanku lewat pesan singkat bahwa aku sudah sampai di depan rumahnya.

Sunday, April 6, 2014

Karena Hidup Banyak Warna

"Hidup itu nggak cuma satu warna. Dia ada banyak warna"

Sekejap kalimat tersebut melintas di pikiranku. Kemarin ketika membantu dekor untuk persiapan paskah.
Di suatu sudut ruangan aku melihat tumpukan kotak-kotak. Warna-warni, dan tentu saja cerah.
Ada warna merah muda, hijau, coklat, dan lain-lain.
Tidak bisa aku pungkiri, warnanya menarik hati, untukku.
Diibaratkan seperti hidup, seperti itulah warna-warnyanya. Cerah dan berwarna-warni.
Ya, benar. Hidup itu ada banyak warna. Kalau cuma ada satu warna, dijamin nggak bakal seru.
Misalkan saja, warna hitam. Nggak akan selamanya, kan, hidup cuma warna hitam. Kalau nggak ada warna warna lainnya, mau jadi apa?
Hidup itu saling melengkapi. Banyak rasa, banyak warna. Sedih dan senang itu satu paket. Pun kesendirian dan kebersamaan.
Hidup itu butuh keseimbangan.
 

Wednesday, April 2, 2014

Berbagai Macam Kebahagiaan

“Sebenernya bahagia itu apa, sih?”
“Bahagia itu rasanya seperti apa?”

Terkadang aku bertanya-tanya di dalam benakku. Apa? Kenapa? Bagaimana? Aku tahu memang nggak harus betul-betul paham untuk mengerti suatu hal. Aku hanya butuh kepastian, apa itu bahagia?

Tadi siang sepulang sekolah sambil menunggu ekstrakulikuler bersama teman-teman. Kita berbincang macam-macam hal. Mengeluarkan gelak tawa kita. Lepas. Bebas

Ada yang bilang kalau terlalu menunjukkan kebahagiaannya yang terlalu berlebihan, dia sedang menunjukkan kepura-puraannya. Ah, apa iya?
Ada juga yang bilang, dia yang sedang terdiam, justru sedang bahagia?
Jika banyak yang beranggapan seperti itu, lantas bagaimana dan seperti apa 'bahagia' yang sebenarnya?

Yang jelas, persepsi orang tentang bahagia memang sangat berbeda.

Nggak ada yang tahu bagaimana perasaanku sekarang yang melatarbelakangi tulisan ini.