Thursday, April 7, 2011

MONOLOG~

Hari ini, seperti yang sudah-sudah, aku selalu duduk tersiam disini. Di tangah hamparan hijau rumput yang luas. Memandang langit biru tuk yang kesekian kali. Memandang pelangi tuk melupakan kerinduan dihati. Ya, disinilah aku bertemu cinta pertamaku dan kehilangan dirinya sampai entah kapan.


Taman ini tak begitu luas tapi indah. Bunga-bunganya disusun rapi, memperlihatkan bahsa pemilik taman ini merawatnya dengan teliti. Ditangah taman, ada kolam kecil dengan air mancue sederhana. Tapi disinilah pusat daya tarik taman ini bagiku. Hampir setiap sore aku memandang  matahari tyerbenam dari kolam ini. Kalau musim hujan tiba, pelangilah yang kutunggu. Aku bisa memandang pantulan keindahan ini dari riak-riak air kolam. Dari sinilah aku belajar. Belajar tentang cinta dari pelangi. Tahukah kawan,  pelangi punya filosofi cinta, cinta bagaikan pelangi. Pelangi berasal dari dua unsur berbeda, air dan cahaya, seperto conta yang berasal dari dua ciptaan Tuhan yang berbeda. Karena Tuhanlah, mereka bisa bersatu. Cinta mereka menciptakan keindahan seperti pelangi. Inilah kisah cintaku, Tuhan menghendaki aku bertemu cahaya itu, hingga aku menemukan warna-warna hidupku, tapi kemudian dia memisahkan ku darinya.


Langit sore menyemburatkan sinar-sinar matahari dengan lembut, kunikmati indahnya sore itu dengan melukisnya di atas kertas putih. Inilah yang sring kulakukan dan yang hanya bisa kulakukan. Aku bukanlah gadis sempurnya, kawan. Kalu kau melihatku sekilas, aku seperti gadis kebanyakan. Rambutku yang panjang berombak kubiarkan tergurai menutupi bahuku. Kaki dan tanganku juga berfungsi layaknya manusia biasa. Mataku bisa melihat dan telingaku bisa mendengar apa kata dunia. Tapi, aku tak bisa mengetakan pada dunia bagaimana perasaanku saat ini.  Dari sejak aku kecil. Tuhan tak memberikan suara padaku. Ibuku pernah menjelaskan mengapa hal ini terjadi, tapi aku tak mengerti saat itu, dan sekarang aku tak mau lagi mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa beban. Ingin menikmati sari-sari hidup. Aku tak mau marah pada Tuha, Ibuku atau siapapun. Ini bukan salah siapa-siapa. Inilah takdir, kawan. Tuhan selalu mengatur segalanya dengan baik adanya.


Walaupun Tuhan menyenbunyikan suaraku, tapi Tuhan tidak menyembunyikan talentaku. Aku memang tak bisa berkata-kata, tapi tangankulah yang bisa berkata-kata. Ya, Tuhan memberiku bakat untuk melukis. Lukisankulah yang menggambarkan kata-kata hatiku. Seandainya, mereka bisa bicara, engkau akan tahu perasaanku saat ini.

Langit cerah itu tiba-tiba tertutup oleh kabut hitam. Awan kumulus nimbus  sebagai pertanda akan turun hujan.  Segera aku berlari mencari pohon untuk berteduh. Kumpulsn kertas-kertasku kubawa tak karuan. Kulihat sebuah pohon yang cukup besar untuk berteduh. Aku berlari dan.."Aduh!", kudengar suara anak laki-laki. Karena panik, aku tak melihat ada anak laki-laki yang berlawanan arah dariku dan berlari menuju pohon yang sama denganku. Aku menubruknya, atau bisa dibilang dia yang menubrukku. Kertas-kertas gambarku berjatuhan. Aku segera mengambilanya, karena takut basah. Aku berpaling ke anak laki-laki itu. Dari wajahnya, dia seumuran denganku 14 tahun. Ia juga sedang memungut kerta-kertas miliknya yang tadi jatuh. Aku merasa tak enak. Aku ingin minta maaf, tapi bagaimana caranya? Jadi, aku hanya memandanginya. Mungkin, dia sadar akan hal ini dan memandangku. Ia tersenyum, tapi bukan hanya bibirnya tapi juga matanya. Aku merasa tersihir, seolah aku melihat pelangi di matanya. Waktu terasa berhenti berdetak. Ia memandangiku dan aku memeandangnya. Aku merasa tergetar untuk waktu yang sedemikian lama. Semilir angin menghembuskannya dan menyadarkanku setelah sekian lamanya. Aku membalas senyumnya, dan dia mulai bicara. "Maaf ya!" itulah kata pertamanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya dan menanyakan namaku. Dygta, ya Dygta itulah namanya. Ia tetap mengulurkan tangannya dan menanyakan namaku. Ooh Tuhan, bagaimana aku menjawabnya. Hatiku bergetar, tapi juga melonjak-lonjak. Aku bingung, bahkan untuk mengulurkan tangan pun aku tak bisa, aku hanya berdiri mematung dan diam. Mungkin inilah yang dinamakan orang demam cinta pertama pada pandangan pertama tepatnya. Ia menarik mundur tangannya dan kembali tersenyum. Lalu kami berdua duduk bersandar di bawah pohon itu sambil menunggu hujan reda. Ia mulai memecah kesunyina dengan menceritakan siapa dirinya. Ternyata, dugaanku beranr dia seumuran denganku. Kertas-kertasnya tadi adalah puisi ciptaannya. Baru beberapa menit dengan Dygta aku sudah merasa begitu dekat dengannya. Pertemuan kami hanya seperti cerita monolog, Dygta terus bercerita dan aku terus mendengarkannya. Heran memang, dia tidak menanyakan kenapa aku terus diam, seakan dia tahu aku adalah gadis bisu.

Huja turun tak begit lama. Aku sudah berdiri bersiap untuk pilang kerumahku. Tapi, langkahku terhenti. Aku melihat pelangi menyemburatkan sinarnya dengan anggun. Sungguh Romantis. Aku jadi ingat filosofi cintang yang kubuat sendiri. Aku terdiam terpaku, Dygta juga berdiri dan melihat pelangi itu. Ia tersenyum dan berkata, "Pelangi punya folosofi cinta...". Aku terkejut, dia seakan bisa membaca pikiranku. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa diduga. Lalu ia melanjtkan ceritanya, sama persis seperti ceritaku. Ingin, kukatakan pada Dygta aku juga punya cerita seperti itu, tapi bagaimana caranya? Jadi, sekali lagi aku hanya tersenyum dan memandang takjub pada kedua pelangi di matanya.

Dygta telah mengganggu tidurku. Ia memberikan kerinduan mendalam di hatiku. Kini, dialah yang menghiasi mimpiku. Sore berikutnya aku kembali ke taman itu, berharap bisa bertemu lagi dengan Dygta. Aku terduduk di kolam dan berkhayal tentangnya. Aku mulai mnggerakkan ujung pensilku dan melukis wajah pemilik mata pelangi itu. Andaikan gambar-gambar ini bisa bicara, dan mengungkapkan perasaanku saat ini, kuharap Dygta bisa mengerti betapa aku merindukannya. Tiba-tiba sesosok manusia datang dan menganbil gambarku. Aku terkejut, tapi ternyata dia Dygta. Dia tyertawa lalu diam mengamati sketsa lukisanku. Aku merasa sedikit malu, tapi wajahnya yang jenaka dan sok serius itu menghilangkan semua rasa canggungku. Aku berdiri dan merebut kambali lukisanku. Ia memandangiku, aku manaikkan alis sebagai isyarat untuk mengetahui bagaimana pendapatnya tentang lukisanku. Ia terlihat murung, aku sedikit was-was dan akhirnya ia berkata , "Ehm, wajahku terlihat lebih manis di lukisanmu..." lalu dia tertawa. Aku pun tersenyum.

Hari-hari berikutnya, dialah yang ada dalam benakku. Hampir setiap sore kami bertemu. Aku merasa ada cinta diantara kami. Yapi, cinta ini cinta bisu. Tak ada yang saling mengungkapkan. Ingin sekali kukatakan padanya, apakah kau tak mengerti bahwa kau telah membuat hatiku gundah, Ara. Apa kau tak mengerti bahwa kau telah mengganggu hatiku  sekaligus mewarnai pelangi jiwaku yang dulu semu? Tapi, apakah kau juga mneganggapku sama?

Saat-saat bersama Dygta adalah saat untuk menikmati hidup. Kadang, ia memperlihatkan  puisi-puisinya padaku. Suatu saat ia menanyakan pendapatku tentang puisinya, aku hanya menangguk dan tersenyum, ia pun membalas senyumku dengan bahagia. Entah kenapa, aku merasa tenang di dekat Dygta. Ia adalah sosok yang polos dan menyenangkan. Aku merasa penuh percaya diri dan bebas bersamanya. Dia tak pernah mempermasalahkan ketidaknormalanku. Aku merasa mendapat perhatian darinya. Ia pernah membuat puisi untukku dan saat itulah pertama kali ia menyebut namaku, padahal aku tak pernah memberitahu siapa namaku padanya. Entah bagaimana dia tahu.

Sore ini aku kembali ke taman itu. Kunikmati pemandangan sore hari dan mulai melukis. Kugambarkan dua bocah remaja di tengan hamparan rumput hijau yang sejuk berlatar langit sore yang indah. Ingin kutunjukkan gambar ini begitu Dygta datang nanti. Aku menunggu, lama.... Dygta tak datang juga. Aku pulang, dan kembali ke taman ini hari berikutnya. Aku masih belum bertemu Dygta, sungguh tak biasa. Hari ke empat, dan aku kembali menunggunya. Saat aku duduk di pinggir kolam seperti biasanya, aku melihat amplol biru bertuliskan namaku. Aku membacanya.

                      Kujejakkan kakiku di hijau rumput ini
                      Kucari tempat tersembunyi,
                      Hanya untuk melihat wajahmu
                      Aku mengenalmu lebih dari yang tak tahu
                      Meski kau tak tahu bahwa aku mengagumimu
                                      Tidurku tak lagi nyenak,
                                      Karena bayangmu yang ada di kepalaku
                                      Bunga-bunga hatiku bermekaran
                                      Karena sejuk siraman airmu
                       Cinta kita kosong tapi berwarna
                       Cinta kita bisu tapi penuh arti
                       Cinta kita bagai pelangi yang lalu pergi
                       Tapi kau harus yakin cinta kita takkan terikat waktu
                       Aku ingin kau menungguku pulang
                       Karena aku pergi, untuk kembali...

Inilah puisi Dygta untukku. Ia pergi dan aku terus menunggunya. Entah kapan, aku melihat pelangi dimatanya yang membuat hatiku bergetar tuk kesekian kalinya. Aku tak menyangka ia telah mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Ia pergi sebelum aku mengatakan perasaanku padanya. Seandainya, gambar itu bisa bicara, kau akan tahu bahwa aku bahagia karenamu, Dygta. Kepergianmu meninggalkan kekosongan dihatiku. Aku kecewa, kau telah memberikan racun padaku. Tapi, puisimu adalah penawar bisamu. Puisimu meyakinkanku akan cintamu, akan pelangi hidupku. Aku tahu, kau akan kembali. Aku merasa beruntung, telah menemukanmu, dan aku beruntung, aku punya cinta pertama yang takkan pernah terlupakan. Kini, aku kembali di bawah pohon tempat kita pertama bertemu untuk menunggumu. Aku akan tetap menjadi air dan kau cahayanya. Kita akan menciptakan pelangi yang lebih indah dari pelangi manapun, karena kau adalah takdirku, Dygta.


kutipan dari buku pelajaran Bhs. Indonesiaku.
thankjs for read~